Latar
Belakang Turunnya Ayat al-Qur’an (Asbâbun-Nuzûl)
ASBÂBUN-NUZÛL
adalah peristiwa yang melatar belakangi turunnya ayat Al-Qur’an sebagai jawaban
atau penjelasan hukum terhadap permasalahan yang terkandung dalam peristiwa
tersebut.
Apabila ditinjau
dari keberadaan faktor tersebut maka dapat diketahui bahwa ayat-ayat Al-Qur’an
secara umum terklasifikasi benjadi dua bagian.
Pertama,
ayat Al-Qur’an yang diturunkan atas sebab tertentu yang mendesak turunnya ayat
tersebut.
Kedua,
ayat Al-Qur’an yang diturunkan tanpa ada desakan peristiwa atau suatu
permasalahan.
Rupanya,
ulama sangat serius sekali dalam mempelajari asbâbun-nuzûl. Perhatian mereka
telah termanifestasi dalam tiga bentuk sistematika kajian.
Pertama,
mereka mengkhususkan asbâbun-nuzûl sebagai salah satu bab tersendiri dalam
disiplin ilmu tafsir
Kedua,
segenap mufassirîn lebih mendahulukan asbâbun-nuzûl dalam menafsiri ayat
Al-Qur’an jika memang ayat tersebut hadir atas peristiwa tertentu.
Ketiga,
para ulama mengkhususkan kajian asbâbun-nuzûl dalam beberapa karya mereka,
seperti Imam Suyuti dalam kitabnya Lubâbun-Nuqûl fî Asbâbun-Nuzûl, Al-Hâfizh
Ibu Hajar dalam kitabnya Al-‘Ujab fî Bayânil-Asbâb, Al-Hâfizh Ibnu Jauzi dalam
kitabnya Asbâbun-Nuzûl lî Al-Qur’ân dan masih banyak lagi yang lainnya.
Sedangkan
peristiwa yang melatar belakangi turunnya ayat terkadang justru muncul dari
pribadi Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam sendiri sebagai penerima wahyu,
seperti yang melatari turunnya surat As-Sabâ’. Ketika itu, Ibnu Ummi Maktum
bermaksud menemui Nabi Muhammad Shallallâhu ‘alaihi wasallam. Sementara Nabi
Shallallâhu ‘alaihi wasallam sedang sibuk berbincang-bincang dengan pemuka
Quraisy dan mengajak mereka untuk masuk Islam.
Di
sela-sela kesibukan itu Ibnu Ummi Maktum menghaturkan diri seraya memohon “Ya
Rasulullah ajarilah aku apa yang telah diajarkan oleh Allah kepadamu”. Dia pun
tidak henti-hentinya memohon meskipun saat itu Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi
wasallam sedang sibuk menyambut kelompok Quraisy, sehingga Rasulullah
Shallallâhu ‘alaihi wasallam kurang begitu memperhatikan kehadiran Ibnu Ummi
Maktum karena kesibukannya itu. Kemudian turunlah surat As-Sabâ’ sebagai
teguran terhadap Beliau Shallallâhu ‘alaihi wasallam. Sejak saat itulah jika
Rasulullah melihat Ummi Maktum Beliau Shallallâhu ‘alaihi wasallam berkata
“Selamat datang wahai orang yang membuat Allah menegurku”.
Dan
terkadang peristiwa yang melatar belakangi turunnya ayat itu berkenaan dengan
aktifitas sekelompok sahabat dan adakalanya juga muncul dari permasalahan
orang-orang munafik atau orang musyrik.
Al-‘Ibrah
bi ‘umûmil-lafzhi lâ bi khushûshis-sabab
Pertanyaannya
adalah, “apakah sebab yang melatarbelakangi turunnya ayat memberi batasan
tertentu pada makna umum ayat tersebut?”
Ulama
Ushul Fikih menetapkan bahwa sebuah ungkapan itu diarahkan pada makna umum yang
terkandung sebuah lafal dan tidak dibatasi oleh faktor yang
melatarbelakanginya. Maksudnya ialah, faktor yang melatar belakangi turunnya
ayat tidak sampai membelenggu dan membatasi pada keumuman makna yang
dikandungnya, akan tetapi hanya sekedar mempengaruhi turunnya wahyu. Walaupun
ada beberapa ayat yang menurut mayoritas ulama tertentu pada sebabnya saja,
seperti ayat ke-17 dari surat al-Lail yang tertentu kepada Abu Bakar Shallallâhu
‘alaihi wasallam.
Urgensitas
Mengetahui Asbâbun-Nuzûl
Mengetahui
asbâbun-nuzûl terbilang sangat urgen sebagai salah satu perantara memahami
maksud dan hikmah yang terkandung dalam penetapan suatu hukum, sebagaimana
dalam ungkapan pepatah, “mengetahui sebab akan memberikan pengetahuan mengenai
musabbab”.
Maka dari
itu, kredibelitas mufassirin dalam upaya interpretasinya dapat diukur melalui
tinggi-rendahnya pengetahuan mereka terhadap berbagai aspek yang melatar
belakangi turunnya ayat itu. Dan tidak berlebihan kiranya apabila Sayyidina Ali
Radhiallâhu ‘anhu disebut sebagai orang yang paling kredibel dalam menafsirkan
Al-Qur’an setelah Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam, karena beliau telah
menguasai sepenuhnya bidang ini (asbâbun-nuzûl).
Kesimpulan
ini berangkat dari riwayat Ma’mar dari Wahab bin Abdillah dari Abu Thufail
bahwa suatu ketika Sayyidina Ali Radhiallâhu ‘anhu berkhutbah di hadapan
khalayak ramai. Beliau Radhiallâhu ‘anhu bertutur, “Betanyalah kepadaku! Demi
Allah, setiap pertanyaan kalian pasti akan aku jawab. Dan tanyakan pula
kepadaku mengenai Kitabullah! Demi Allah, tidak terdapat satu ayatpun kecuali
aku telah mengetahuinya, apakah diturunkan di malam hari atau di siang hari,
apakah diturunkan di daratan atau di gunung”.
Mengenai
pentingnya mengetahui asbâbun-nuzûl ini, Al-Wahidi turut memberikan sebuah
komentar bahwa tidak akan diketahui maksud sebenarnya suatu ayat tanpa mengenal
asbâbun-nuzûlnya.
Banyak
sekali fungsi mengetahui asbâbun-nuzûl dalam upaya penafsiran Al-Qur’an:
1.
Dapat memahami hikmah yang terkandung dalam penetapan hukum.
2. Membantu memahami lebih dalam maksud dari pada ayat
Al-Qur’an. Abu Al-Fath Al-Qusyairi berkata, “mengenal asbâbun-nuzûl adalah
metode yang ampuh untuk memahami makna kitab Allah al-Aziz.
3.
Mengetahui objek pokok dari sebuah ayat.
4. Dapat menyederhakan kemumuman makna lafal melalui
keberadaan faktor yang melatarbelakanginya menurut pendapat yang mengatakan
al-‘ibrah bi khushûsis-sabab.
Cara Mengetahui
Asbâbun-Nuzûl
Faktor
yang melatar belakangi turunnya ayat adalah peristiwa sejarah yang terjadi pada
masa Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam. Maka dari itu, tidak ada cara
lain untuk mengetahuinya kecuali melalui periwayatan yang sahih dari pihak yang
bersangkutan dan atau orang yang berada di lokasi kejadian.
Jika
salah satu sahabat memberikan pernyataan dengan tegas mengenai ihwal yang
melatar belakangi turunnya sebuah ayat maka itulah yang disebut asbâbun-nuzûl
dan pernyataannya itu dapat dihukumi selayaknya Hadis Marfû’ atau Musnad.
Namun, apabila diungkapakan dengan pernyataan yang tidak sharîh, seperti “ayat
ini turun dalam kondisi ……. “ maka pernyataan tersebut tidak mengindikasikan
bahwa peristiwa yang diceritakan adalah faktor yang melatar belakangi turunnya
ayat. Melalui pernyataan tersebut sebenarnya sahabat hanya sekedar menyampaikan
bahwa hukum yang berkenaan dengan peristiwa tadi telah terkandung oleh ayat
itu.
Sedangkan
riwayat tabi’in yang turut menceritakan sebuah peristiwa turunnya ayat
Al-Qur’an, maka untuk dapat diterima harus memenuhi empat kriteria :
1.
Pernyataannya harus jelas, seperti mengatakan “sebab turunnya ayat ini
adalah…..”. Atau dengan menggunakan fâ’ ta`qîbiyyah yang menjadi kata sambung
dari rentetan peristiwa, semisal ketika Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam
ditanya tentang sesuatu, maka Allah Subhânahu wata‘âla menurunkan (fa anzala)
ayat ini atau turunlah ayat ini.
2.
Sanadnya harus sahih.
3. Tabi’in yang dimaksud memang memiliki keahlian
dalam bidang tafsir.
4. Ada riwayat tabi’in lain yang menjadi penguat
terhadap riwayatnya.
***
Apabila
segenap kriteria ini terpenuhi, maka pernyataan tabi’in tersebut dapat diterima
dan tergolong Hadis Mursal.11) Dan dengan demikian,
kita dapat mengetahui pagar kokoh yang dijadikan pijakan ulama dalam rangka
menjaga autentitas Al-Qur’an dari penyimpangan dan pengkaburan.**
Ust.
Hasan Bashri/LPSI
Catatan
akhir
1. Al-Hâfizh Jalâluddîn As-Suyûti, Al-Itqân fî
Ulûmil-Qur’ân, hal. 29, Dârul-Fikr
2.
Ali As-Shâbûni, At-Tibyân fî Ulûmil-Qur’ân, hal. 19, Dârul-Kutub
3.
Al-Hâfizh Jalâluddîn As-Suyûti, Al-Itqân fî Ulûmil-Qur’ân, hal. 29, Dârul-Fikr
4.
Al-Hâfizh Jalâluddîn As-Suyûti, Al-Itqân fî Ulûmil-Qur’ân, hal. 187, Dârul-Fikr
5.
Al-Wahidi, Asbâbun-Nuzul, vol. 1 hal. 187. Dr. Husain Adz-Dzahabi, At-Tafsir wa
Al-Mufassirûn, vol. 1 hal. 59
6. Al-Hâfizh Jalâluddîn As-Suyûti, Al-Itqân fî
Ulûmil-Qur’ân, hal. 29, Dârul-Fikr
7.
Ibid, hal. 29, Dârul-Fikr
8. Ibid, hal. 29, Dârul-Fikr. Al-Tibyan / hal 21 / Dar
Al-Kutub
9. Ali As-Shâbûni, At-Tibyân fî Ulûmil-Qur’ân, hal.
25, Dârul-Kutub
10.
Al-Hâfizh
Jalâluddîn As-Suyûti, Al-Itqân fî Ulûmil-Qur’ân, hal. 32, Dârul-Fikr
Tidak ada komentar:
Posting Komentar