Minggu, 06 Januari 2013

Tugas Program Komputer


Latar Belakang Turunnya Ayat al-Qur’an (Asbâbun-Nuzûl)

ASBÂBUN-NUZÛL adalah peristiwa yang melatar belakangi turunnya ayat Al-Qur’an sebagai jawaban atau penjelasan hukum terhadap permasalahan yang terkandung dalam peristiwa tersebut.

Apabila ditinjau dari keberadaan faktor tersebut maka dapat diketahui bahwa ayat-ayat Al-Qur’an secara umum terklasifikasi benjadi dua bagian.

Pertama, ayat Al-Qur’an yang diturunkan atas sebab tertentu yang mendesak turunnya ayat tersebut.

Kedua, ayat Al-Qur’an yang diturunkan tanpa ada desakan peristiwa atau suatu permasalahan.

Rupanya, ulama sangat serius sekali dalam mempelajari asbâbun-nuzûl. Perhatian mereka telah termanifestasi dalam tiga bentuk sistematika kajian.

Pertama, mereka mengkhususkan asbâbun-nuzûl sebagai salah satu bab tersendiri dalam disiplin ilmu tafsir

Kedua, segenap mufassirîn lebih mendahulukan asbâbun-nuzûl dalam menafsiri ayat Al-Qur’an jika memang ayat tersebut hadir atas peristiwa tertentu.

Ketiga, para ulama mengkhususkan kajian asbâbun-nuzûl dalam beberapa karya mereka, seperti Imam Suyuti dalam kitabnya Lubâbun-Nuqûl fî Asbâbun-Nuzûl, Al-Hâfizh Ibu Hajar dalam kitabnya Al-‘Ujab fî Bayânil-Asbâb, Al-Hâfizh Ibnu Jauzi dalam kitabnya Asbâbun-Nuzûl lî Al-Qur’ân dan masih banyak lagi yang lainnya.

Sedangkan peristiwa yang melatar belakangi turunnya ayat terkadang justru muncul dari pribadi Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam sendiri sebagai penerima wahyu, seperti yang melatari turunnya surat As-Sabâ’. Ketika itu, Ibnu Ummi Maktum bermaksud menemui Nabi Muhammad Shallallâhu ‘alaihi wasallam. Sementara Nabi Shallallâhu ‘alaihi wasallam sedang sibuk berbincang-bincang dengan pemuka Quraisy dan mengajak mereka untuk masuk Islam.

Di sela-sela kesibukan itu Ibnu Ummi Maktum menghaturkan diri seraya memohon “Ya Rasulullah ajarilah aku apa yang telah diajarkan oleh Allah kepadamu”. Dia pun tidak henti-hentinya memohon meskipun saat itu Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam sedang sibuk menyambut kelompok Quraisy, sehingga Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam kurang begitu memperhatikan kehadiran Ibnu Ummi Maktum karena kesibukannya itu. Kemudian turunlah surat As-Sabâ’ sebagai teguran terhadap Beliau Shallallâhu ‘alaihi wasallam. Sejak saat itulah jika Rasulullah melihat Ummi Maktum Beliau Shallallâhu ‘alaihi wasallam berkata “Selamat datang wahai orang yang membuat Allah menegurku”.

Dan terkadang peristiwa yang melatar belakangi turunnya ayat itu berkenaan dengan aktifitas sekelompok sahabat dan adakalanya juga muncul dari permasalahan orang-orang munafik atau orang musyrik.

Al-‘Ibrah bi ‘umûmil-lafzhi lâ bi khushûshis-sabab

Pertanyaannya adalah, “apakah sebab yang melatarbelakangi turunnya ayat memberi batasan tertentu pada makna umum ayat tersebut?”

Ulama Ushul Fikih menetapkan bahwa sebuah ungkapan itu diarahkan pada makna umum yang terkandung sebuah lafal dan tidak dibatasi oleh faktor yang melatarbelakanginya. Maksudnya ialah, faktor yang melatar belakangi turunnya ayat tidak sampai membelenggu dan membatasi pada keumuman makna yang dikandungnya, akan tetapi hanya sekedar mempengaruhi turunnya wahyu. Walaupun ada beberapa ayat yang menurut mayoritas ulama tertentu pada sebabnya saja, seperti ayat ke-17 dari surat al-Lail yang tertentu kepada Abu Bakar Shallallâhu ‘alaihi wasallam.

Urgensitas Mengetahui Asbâbun-Nuzûl

Mengetahui asbâbun-nuzûl terbilang sangat urgen sebagai salah satu perantara memahami maksud dan hikmah yang terkandung dalam penetapan suatu hukum, sebagaimana dalam ungkapan pepatah, “mengetahui sebab akan memberikan pengetahuan mengenai musabbab”.

Maka dari itu, kredibelitas mufassirin dalam upaya interpretasinya dapat diukur melalui tinggi-rendahnya pengetahuan mereka terhadap berbagai aspek yang melatar belakangi turunnya ayat itu. Dan tidak berlebihan kiranya apabila Sayyidina Ali Radhiallâhu ‘anhu disebut sebagai orang yang paling kredibel dalam menafsirkan Al-Qur’an setelah Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam, karena beliau telah menguasai sepenuhnya bidang ini (asbâbun-nuzûl).

Kesimpulan ini berangkat dari riwayat Ma’mar dari Wahab bin Abdillah dari Abu Thufail bahwa suatu ketika Sayyidina Ali Radhiallâhu ‘anhu berkhutbah di hadapan khalayak ramai. Beliau Radhiallâhu ‘anhu bertutur, “Betanyalah kepadaku! Demi Allah, setiap pertanyaan kalian pasti akan aku jawab. Dan tanyakan pula kepadaku mengenai Kitabullah! Demi Allah, tidak terdapat satu ayatpun kecuali aku telah mengetahuinya, apakah diturunkan di malam hari atau di siang hari, apakah diturunkan di daratan atau di gunung”.

Mengenai pentingnya mengetahui asbâbun-nuzûl ini, Al-Wahidi turut memberikan sebuah komentar bahwa tidak akan diketahui maksud sebenarnya suatu ayat tanpa mengenal asbâbun-nuzûlnya.

Banyak sekali fungsi mengetahui asbâbun-nuzûl dalam upaya penafsiran Al-Qur’an:

1.     Dapat memahami hikmah yang terkandung dalam penetapan hukum.
2.     Membantu memahami lebih dalam maksud dari pada ayat Al-Qur’an. Abu Al-Fath Al-Qusyairi berkata, “mengenal asbâbun-nuzûl adalah metode yang ampuh untuk memahami makna kitab Allah al-Aziz.
3.     Mengetahui objek pokok dari sebuah ayat.
4.     Dapat menyederhakan kemumuman makna lafal melalui keberadaan faktor yang melatarbelakanginya menurut pendapat yang mengatakan al-‘ibrah bi khushûsis-sabab.

Cara Mengetahui Asbâbun-Nuzûl

Faktor yang melatar belakangi turunnya ayat adalah peristiwa sejarah yang terjadi pada masa Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam. Maka dari itu, tidak ada cara lain untuk mengetahuinya kecuali melalui periwayatan yang sahih dari pihak yang bersangkutan dan atau orang yang berada di lokasi kejadian.

Jika salah satu sahabat memberikan pernyataan dengan tegas mengenai ihwal yang melatar belakangi turunnya sebuah ayat maka itulah yang disebut asbâbun-nuzûl dan pernyataannya itu dapat dihukumi selayaknya Hadis Marfû’ atau Musnad. Namun, apabila diungkapakan dengan pernyataan yang tidak sharîh, seperti “ayat ini turun dalam kondisi ……. “ maka pernyataan tersebut tidak mengindikasikan bahwa peristiwa yang diceritakan adalah faktor yang melatar belakangi turunnya ayat. Melalui pernyataan tersebut sebenarnya sahabat hanya sekedar menyampaikan bahwa hukum yang berkenaan dengan peristiwa tadi telah terkandung oleh ayat itu.

Sedangkan riwayat tabi’in yang turut menceritakan sebuah peristiwa turunnya ayat Al-Qur’an, maka untuk dapat diterima harus memenuhi empat kriteria :
1.     Pernyataannya harus jelas, seperti mengatakan “sebab turunnya ayat ini adalah…..”. Atau dengan menggunakan fâ’ ta`qîbiyyah yang menjadi kata sambung dari rentetan peristiwa, semisal ketika Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam ditanya tentang sesuatu, maka Allah Subhânahu wata‘âla menurunkan (fa anzala) ayat ini atau turunlah ayat ini.
2.     Sanadnya harus sahih.
3.     Tabi’in yang dimaksud memang memiliki keahlian dalam bidang tafsir.
4.     Ada riwayat tabi’in lain yang menjadi penguat terhadap riwayatnya.

***

Apabila segenap kriteria ini terpenuhi, maka pernyataan tabi’in tersebut dapat diterima dan tergolong Hadis Mursal.11) Dan dengan demikian, kita dapat mengetahui pagar kokoh yang dijadikan pijakan ulama dalam rangka menjaga autentitas Al-Qur’an dari penyimpangan dan pengkaburan.**

Ust. Hasan Bashri/LPSI

Catatan akhir
1.     Al-Hâfizh Jalâluddîn As-Suyûti, Al-Itqân fî Ulûmil-Qur’ân, hal. 29, Dârul-Fikr
2.     Ali As-Shâbûni, At-Tibyân fî Ulûmil-Qur’ân, hal. 19, Dârul-Kutub
3.     Al-Hâfizh Jalâluddîn As-Suyûti, Al-Itqân fî Ulûmil-Qur’ân, hal. 29, Dârul-Fikr
4.     Al-Hâfizh Jalâluddîn As-Suyûti, Al-Itqân fî Ulûmil-Qur’ân, hal. 187, Dârul-Fikr
5.     Al-Wahidi, Asbâbun-Nuzul, vol. 1 hal. 187. Dr. Husain Adz-Dzahabi, At-Tafsir wa Al-Mufassirûn, vol. 1 hal. 59
6.     Al-Hâfizh Jalâluddîn As-Suyûti, Al-Itqân fî Ulûmil-Qur’ân, hal. 29, Dârul-Fikr
7.     Ibid, hal. 29, Dârul-Fikr
8.     Ibid, hal. 29, Dârul-Fikr. Al-Tibyan / hal 21 / Dar Al-Kutub
9.     Ali As-Shâbûni, At-Tibyân fî Ulûmil-Qur’ân, hal. 25, Dârul-Kutub
10.  Al-Hâfizh Jalâluddîn As-Suyûti, Al-Itqân fî Ulûmil-Qur’ân, hal. 32, Dârul-Fikr

Tidak ada komentar:

Posting Komentar