hubungan filsafat dan dunia islam
BAB I
PENDAHULUAN
Masuknya dunia filsafat dalam dunia islam sebenarnya
telah ada pada abad pertengahan hijriah, yaitu melalui dua madzhab, Neo
Platonisme yang masuk kepada dunia tasawuf, dan madzhab Paripatetik yang
kelihatan lebih banyak masuk kedalam bentuk skalastisisme ortodoks (kalam). Akan tetapi yang lebih ditekankan adalah masuknya filsafat melalui jalur
Ilmu Kalam. Yaitu ketika Ilmu Kalam menjadi persoalan yang sangat pelik antara
beberapa kelompok, seperti Mu’tazilah ataupun Ibnu Hambal dan Asy’aryiah.
Kendatipun demikian Ilmu Kalam tetap menjadi nash-nash agama sebagai sumber
pokok, tetapi dalam penggunaanya dalil-dalil akal melebihi penggunaan dalil naqli
yang nampak pada perbincangan Mutakallimin. Atas dasar itulah para pakar
memasukan Ilmu Kalam dalam lingkup Filsafat.
Walaupun obyek dan metode kedua ilmu tersebut (Fisafat
dan Ilmu Kalam) berbeda, tapi keduanya saling melengkapi dalam memahami islam
dan pembentukan aqidah muslim. Filsafat mengawali pembuktiannya dengan argumen
akal, kemudian pembenarannya melalui wahyu, sedangkan Ilmu Kalam mengawali
pembicaraan dengan wahyu, barulah kemudian didukung oleh argumen akal.
Adapun pada perkembangannya, perhatian terhadap filsafat
sudah dimulai dengan penterjamahan buku-buku kedalam bahasa Arab pada masa
permulaan Daulah Umayah, yang kemudian jaman keemasannya terjadi pada masa
Daulah Abbasiyah yan berpusat di Baghdad, terutama pada masa Al-ma’mun (813-833
M), putra Harun al-Rasyid, yang dikenal dengan jaman penterjemahan.
Walau sebenarnya, pada masa Abbasiyah kegiatan
penterjemahan dimulai oleh Khalifah Al-Mansur, akan tetapi kemajuan yang lebih
nyata dapat dicapai pada masa Khalifah Al-Ma’mun. Ia termasuk seorang
intelektual yang gandrung kepada ilmu pengetahuan dan filsafat. Ia mendirikan
Bait al-Hikmah, yaitu sebuah akademi yang tidak hanya berfungsi sebagi wadah
penterjemahan, tetapi juga menjadi pusat pengembangan filsafat dan sains. Yang
dipimpin oleh seorang nasrani yang ahli bahasa Yunani, Hurain ibnu Ishak
(809-873 M.). Selain itu khalifah Al-Ma’mun juga mengirimkan utusan ke seluruh
kerajaan Byzantium untuk mencari buku-buku Yunani tentang berbagai sobyek. Dan
membayar setiap buku yang diterjemahkan dari bahasa asing ke bahasa Arab dengan
emas seberat buku yang diterjemahkan, diantara buku-buku itu adalah Thaetitus,
Cratylus, Parmenides, dan lain-lain sebagainya.
Di samping kota Baghdad, juga ada kota-kota lain yang
dijadikan sebagai pusat pengembangan Sains dan Filsafat yaitu kota Marwa
(Persia tengah), Jundishyapur dan Harran. Dengan adanya penterjemahan itu, umat
Islam secara singkat dapat menguasai keintelektualan dari ketiga kebudayaan
yang sangat maju pada waktu itu yaitu Yunani, Persia, India. Yang kemudian
dikembangkan oleh pemikir-pemikir Islam menjadi kebudayaan yang lebih maju yang
tergambarkan dalam berbagai bidang ilmu dan mazhab filsafat yang bermacam-macam.
Namun sayangnya, kejayaan filsafat dan ilmu tersebut hanya dapat berlangsung
sampai abad XIII M. Kemudian orang-orang Barat memindahkan pusat ilmu
pengetahuan tersebut ke negaranya.
BAB II
PEMBAHASAN
Hubungan filsafat dan dunia Islam sesungguhnya terjadi
permasalahan-permasalahan dengan tanggapan yang berbeda pula, karena pertanyaan
yang timbul adalah ’’bagaimana agama sebagai wahyu Tuhan, sumber
perintah-perintah dan larangan-larangan dapat bertemu dengan filsafat yang
hanya didasarkan atas alasan-alasan pikiran?’’
Dengan adanya pertanyaan tersebut, akhirnya ada tiga
pengelompokan yang memberi tanggapan akan hal tersebut. Pertama, kelompok yang memegang
teguh agama dan menolak filsafat secara ekstrem (Fuqaha). kedua, kelompok yang menerima filsafat
secara moderat (para tokoh Teologi atau Kalam). Ketiga, kelompok yang berusaha memadukan antara filsafat dan agama
menurut cara tertentu dan cara inilah yang ditempuh oleh para filosof yang
mukmin dan memegang teguh akidah-akidah agama.
Akhirnya dengan adanya filsafat dalam dunia Islam atau
yang lebih dikenal dengan filsafat Islam bisa memadukan antara wahyu dan akal, antara akidah dan hikmah, antara agama dan filsafat, dan
berupaya menjelaskan bahwa:
Ø
Wahyu tidak bertentangan dengan akal
Ø
Akidah dengan diterangi dengan sinar filsafat akan
menetap di dalam jiwa dan kokoh di hadapan lawan.
Ø
Agama jika bersaudara dengan filsafat akan menjadi
filosofis sebagaimana filsafat menjadi religius.
Untuk lebih mensistematiskan dalam pembahasan ini, maka
tema hubungan filsafat dan dunia Islam lebih menekankan pada perpaduan antara
filsafat dan agama Islam. Yaitu persamaan antara filsafat dan dunia Islam
(Agama Islam), apa saja konstribusi filsafat terhadap dunia Islam? Serta
bagaimana tanggapan sebagian filosof yang mengambil jalan tengah untuk
memadukan antara filsafat dan agama Isalam?, dan apa faktor-faktor yang
mendorong ke arah pemaduan filsafat dan agama?
A. Persamaan Antara Filsafat Dan Dunia Islam (Agama Islam)
pada hakikatnya terdapat persamaan
antara tujujan filsafat dan agama, sebagaimana para filosof Islam berpendirian
bahwa keduanya bertujuan untuk mewujudkan kebahagiaan melalui kepercayaan yang
benar dan perbuatan-perbuatan yang baik.
Adapun menurut mereka pembahasan agama dan filsafat adalah satu juga, karena
keduanya membicarakan prinsip-prinsip yang paling jauh bagi semua wujud ini.
Hal ini seperti dalam pengertian filsafat yaitu ilmu tentang wujud-wujud
melalui sebab-sebabnya yang jauh, yakni pengetahuan yang yakin dan sampai pada
sebab-sebabnya sesuatu.
Diantara para filosof diatas, Al-Farabi yang dikenal dengan tokoh
besar Islam, juga mengungkapkan bahwa tujuan filsafat dan agama ialah sama,
yaitu mengetahui semua wujud. Hanya saja filsafat-filsafat memakai dalil-dalil
yang diyakini dan ditujukan kepada golongan tertentu sedang agama memakai cara
Iqna’i (pemuasan perasaan) yang kiasan-kiasan serta gambaran, dan ditujukan
kepada semua orang, bangsa dan negara.
Selain itu menurut beliau, bahwa
tujuan terpenting dalam mempelajari filsafat adalah mengetahui Tuhan. Bahwa Ia
Esa dan tidak bergerak, bahwa Ia menjadi sebab yang aktif bagi semua yang ada,
bahwa Ia yang mengatur alam ini dengan kemurahan, kebijaksanaan dan keadilan.
B. Konstribusi Filsafat Terhadap Dunia Islam
Walau filsafat diperselisihkan dalam
dunia Islam, akan tetapi filsafat memberikan sumbangan yang tidak bisa
diremehkan dalam kerja pikiran kemanusiaan dan mempunyai tempat sendiri dalam
dunia Islam.
Sebagai mana arti dalam filsafat
adalah hasil kerja berpikir dalam mencari hakekat segala sesuatu secara sistematis,
radikal dan universalitas. Dan untuk merasionalkan wahyu yang membicarakan
keberadaan Tuhan, maka filsafat sangat dibutuhkan dalam dunia Islam karena kebanyakan filsafat menggunakan argumentasi
akal yang tentunya bisa diterima oleh banyak kalangan. Hal ini sebagaimana yang
dikemukakan oleh filosof bahwa untuk memadukan agama dan filsafat dapat
dikerjakan dengan dua cara: Pertama,
dengan menjelaskan ketentuan-ketentuan agama dengan pikiran-pikiran filsafat
yang telah terurai. Contohnya dapat didapati
dalam buku Fushus-Ul-hikam
(permata filsafat) oleh Al-Farabi dan lain-lain. Kedua, dengan menakwilkan kebenaran-kebenaran (ketentuan-ketentuan
agama) dengan takwilan yang sesuai dengan pikiran-pikiran filsafat, atau dengan
perkataan lain penundukan ketentuan agama kepada pikiran-pikiran filsafat.
Karena filsafat ini adalah ilmu yang
lahir di dunia Islam tanpa membedakan etnis dan bahasa, apalagi ajaran Islam
sendiri telah memberikan motivasi yang kuat terhadap perkembangan filsafat.
Maka ilmu disini disebut sebagai filsafat Islam. Selain dapat melahirkan filsafat
Islam di kalangan muslimin, dengan adanya filsafat juga melahirkan
filosof-filosof besar Islam, seperti
Al-Farabi, Ibnu Sina, Al-Kindi yang dapat mengembangkan keintelektualan di
Dunia Islam.
Akan
tetapi, walau konstribudi filsafat terhadap Dunia Islam tidak bisa diremehkan.
Agama yang akhirnya menjadi barometer terhadap pemikiran filsafat yang melenceng
dari kebenaran.
C. Pendapat Sebagian Filosof Yang Menyetujuai Pemaduan Agama
Dan Filsafat
Semangat pemaduan sebagai jalan
tengah yang dilakukan oleh filosof-filosof
Islam dalam mempertemukan antara
agama yang dipercayai kebenarannya, dengan filsafat yang didasarkan atas
ketentuan dan dalil-dalil pikiran semata. Hal seperti ini dapat diwakili oleh
pandangan Al-Kindi dan Ibnu Rusyd sebagaimana berikut:
1. Al-Kindi
Al-kindi mempertemukan agama dan
filsafat atas dasar pertimbangan bahwa filsafat ialah ilmu tentang kebenaran
dan agama juga adalah ilmu tentang kebenaran pula, oleh kerana itu maka tidak
ada perbedaan antara keduanya.
Menurutnya, kita tidak boleh malu
mengakui kebenaran dan mengambilnya dari manapun datangnya, meskipun datang
dari bangsa lain. Karena tidak ada yang lebih utama bagi orang yang mencari
kebenaran dari pada kebenaran itu sendiri. Memang kadang-kadang terdapat
perlawanan dalam lahirnya, antara hasil-hasil pemikiran filsafat dengan
ayat-ayat Al-Qur’an, yang menyebabkan filsafat ditentang. Pemecahan Al-Kindi
dalam soal ini adalah bahwa kata-kata dalam bahasa Arab bisa mempunyai arti
yang sebenarnya (hakiki) dan arti mazasi (kiasan) yang dilakukan dengan jalan
takwil (penafsiran) dengan syarat dilakukan oleh ahli agama dan ahli pikir.
Sesuai dengan pendiriannya bahwa
filsafat harus dimiliki, maka ia sendiri berusaha dengan sungguh-sungguh untuk
mencarinya dengan jalan mengikuti pendapat orang-orang sebelumnya dan
menguraikan dengan sebaik-baiknya.
2. Ibnu Rusyd
Ibnu Rusyd mengadakan pemaduan
antara agama dan filsafat, karena sebagai orang yang sangat menjunjung tinggi
Aristoteles, ia harus membalas serangan yang dilakukan oleh Al-Ghozali dalam
bukunya Tahafuth Al-Falasifah. Yang
berisi serangan pedas terhadap para filsafat dan filosof sebelumnya.
Dalam menguraikan perlunya pemaduan
tersebut, ia menguraikan empat persoalan. Pertama,
keharusan berfilsafat menurut syara’. Kedua,
pengertian lahir dan pengerian bathin, serta keharusan takwil. Ketiga, aturan-aturan takwil. Keempat, pertalian akal dan wahyu.
a. Pertama, Keharusan Berfilsafat
Menurut Syara’
Menurut Ibnu Rusyd, fungsi filsafat
tidak lebih daripada mengadakan penyelidikan tentang alam wujud dan
memandangnya sebagai jalan untuk menemukan zat yang membuatnya. Al-Qur’an
berkali-kali memerintahkan demikian, antara lain dalam surah Al-A’raf, ayat
185: ”Apakah mereka tidak memikirkan tentang (Yandhuru Fi) alam langit dan bumi
dan segala sesuatu yang dijadikan oleh Tuhan?”.
Juga dalam surah Al-Hasjr ayat 2, disebutkan sebagai berikut: ”Hendaknya kamu mengambil ibarat (I’tibar,
mengadakan qias = sillogisme), wahai orang-orang yang mempunyai pandangan.”
Ayat terakhir ini dengan jelas
mengharuskan kita untuk mengambil qias-aqli (silogisme) yaitu pengambilan suatu
hukum yang belum diketahui dari sesuatu hukum yang sudah diketahui (maklum)
yang intinya harus mengarahkan pandangan pada alam wujud ini dengan qias-aqli.
Karena itu penyelidikan yang bersifat filosofis menjadi suatu kewajiban.
b. Kedua, Keharusan Takwil
Filosof-filosof Islam sepakat bahwa
akal dan wahyu kedua-duanya menjadi sumber pengetahuan dan alat untuk mencapai
kebenaran. Akan tetapi dalam Qur’an maupun Hadits banyak nash-nash yang menurut
lahirnya berlawanan dengan filsafat. Bagi Ibnu Rusyd, nash-nash itu bisa
ditakwilkan sepanjang aturan-aturan takwil dalam bahasa Arab, seperti halnya
kata-kata dari syara’ bisa ditakwilkan pula dari segi aturan fiqih. Penafsiran
(penakwilan) semacam ini dipakai juga oleh ulama-ulama fiqih dan ulama-ulama
filsafat.
c. Ketiga, Aturan-aturan Takwil.
Setelah menjelaskan tentang
keharusan takwil di atas Ibnu Rusyd meletakkan beberapa aturan sebagai pegangan
dalam melakukan takwil, yaitu: pertama,
setiap orang harus menerima dasar-dasar (prinsip-prinsip) syara’ dan
mengikutinya. Kedua, yang berhak
melakukan takwil hanya golongan filosof semata, bahkan filosof-filosof tertentu
saja yaitu mereka yang mendalam ilmunya. Ketiga,
hasil penakwilan hanya bisa dikemukakan pada golongan pemakai qias Burhani,
jelasnya filosof-filosof, bukan kepada orang awam, karena orang awam tidak
memahami penakwilan tersebut. Keempat,
diperbolehkannya Menjelaskan hasil penakwilan kepada orang-orang awam, karena
adanya keadaan yang memaksa yaitu dimaksudkan untuk memperbaiki kerusakan pada
penyebaran hasil-hasil penakwilan sebelumnya.
Kelima,
kedudukan wahyu dan pertalian dengan akal
Ibnu Rusyd menganggap bahwa wahyu
sebagai suatu keharusan untuk semua orang dan kekuatan akal dalam mencari
kebenaran yang berada di bawah kekuatan wahyu.
D. Faktor-Faktor Pendorong Pemaduan Filsafat Dan Dunia Islam
Selain tanggapan yang diberikan oleh
Al-Kindi dan Ibnu Rusyd dalam masalah pemaduan filsafat dan dunia Islam, ada
beberapa faktor yang mendorong filosof Islam untuk memadukan keduanya yaitu:
a.
adanya jurang pemisah antara Islam dengan Filsafat Aristoteles
dalam berbagai persoalan, seperti sifat-sifat Tuhan dan ciri-ciri khasnya,tentang
persoalan baru atau khodimnya alam, hubungan alam dan Tuhan dan lain-lain.
b.
Banyaknya serangan yang dilakukan oleh tokoh agama
terhadap pikiran-pikiran filsafat, yang kadangkala menimbulkan tekanan-tekanan
oleh rakyat dan penguasa pada ahli-ahli pikir, yang sebenarnya tidak membawa
hasil yang sesuai dengan akidah agama.
c.
Adanya hasrat para filosof untuk menyelamatkan diri dari
tekanan-tekanan itu agar bisa hidup tenang dan tidak terlalu nampak
perlawanannya kepada agama.
BAB III
KESIMPULAN
Dari uraian diatas dapatlah diambil kesimpulan,
bahwasanya filsafat dan dunia Islam mempunyai persamaan tujuan yaitu mencari
kebenaran, dan keduanya merupakan ilmu yang membicarakan prinsip-prinsip yang
paling jauh bagi semua wujud.
Selain itu disadari atau tidak, filsafat memberikan
konstribusi yang sangat besar terhadap perkembangan keintelektualan dalam dunia
Islam, karena pada dasarnya filsafat memberikan argumen akal terhadap wahyu
yang datang agar bisa disosialisasikan kepada masyarakat luas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar